Khamis, 29 April 2010

Puisi Rindu Kampung









   Sambutlah salam manis dari saya, yang ketika ini menulis bentuk puisi bebas, yang pertama kali aku tulis dan aku bukanlah penulis yang gah, biarpun kail panjang sejengkal namun ku tetap menduga laut yang dalam, biarpun ombak datang mengganas, tetap aku berumah di tepi pantai. Aku menulis puisi ini ketika aku mendengar lagu nyanyian Alleycats, "Sampaikanlah Salam Cintaku Kepadanya", mulalah timbul di lubuk hati jernih ini kerinduan terhadap kampung halaman.

   Aku dibesarkan dalam suasana kampung di Perlis, kenangan sewaktu aku kecil dahulu masih lagi segar dalam ingatan. Aku tinggal di sebuah rumah bumbung lima yang dihadapannya ada pohon bunga jarum dan dibelakangnya ada sebuah pokok asam yang sangat besar. Dari dapur aku boleh melihat sawah yang luas terbentang. Sungguh mengusik hati. Di waktu malam aku suka mendengar bunyi pepohon buluh ditiup angin, sayup-sayup kedengaran bunyi burung Segan dan nyayian cengkerik sangat menghiburkan aku.

  Waktu pagi di kampung sungguh terasa tenang. Pagi-pagi lagi aku bersarapan nasi goreng dengan ikan kembong dan terhidang pula dengan kopi hitam. Lepas itu aku keluar bermain, waktu itu embun pagi masih lagi kelihatan di pepohon yang hijau, yang paling aku suka adalah, bau tanah sawah.


Terbit mentari di pagi hari
Terpancar  wajah senyum riang
Intai wajah di balik tangan
Ingin berteduh di balik awan


Di bawah cahaya Ku lihat daun
Di bawah daun  Adanya embun
Bunga Melur kembang tak sekutum
Di petik satu buat  kenangan

Ku pandang ke atas ku lihat langit 
Langit  yang biru awan yang putih
Andai  tiba Si Kelabu mendung
Tidak bermakna berkhabar duka

Dinginnya malam tidak kesunyian
Riang-riang cengkerik menyanyi
Gelap malam kian terang
Hendap Sang Bulan balik awan
Di waktu malam ku lihat bintang 
Di balik Bintang Bulan tersenyum
Andai  pungguk tidak  berlagu
Bulan yang senyum jadi muram


Di rumpun buluh aku menghitung
Daun yang gugur di tapak tangan
 kemarau baru hendak berlayar
Menghitung hari bila nak hujan


Angin timur menyapu muka
Sambil membisik khabar berita
Tidak lama kita bersama
Datang  tengkujuh  menyiram duka

Terik mentari membakar keringat
Peluh menitis di tanah sawah
Hati sedih rasa kecewa
Padi  rebah sebelum tuai


Hujan yang turun Lebat sekali
Jatuh menimpa di atas bunga
Hilang seri tiada rupa
Lima kelopak tinggal satu

Ikan puyu   berenang-renang
Cuba menangkap si anak belalang
Rezeki tak dapat nasib malang
Jatuh pula di atas darat

Burung tempua membuat sarang
Jauh meninggi di pohon nyiur
Takkan jatuh ditiup angin
Tetap goyang dipukul ribut




Yang Benar,
Muhammad Saffuan Bin Jaffar
Nottingham, UK



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...